Pendahuluan Memahami Zakat dalam Islam
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang wajib dipenuhi oleh setiap muslim yang memenuhi syarat tertentu. Zakat bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan juga instrumen sosial untuk menyeimbangkan distribusi kekayaan dalam masyarakat. Dengan menunaikan zakat, seorang mukmin membantu fakir miskin, anak yatim, dan golongan mustahik lainnya, sekaligus membersihkan harta dan jiwa dari sifat kikir.
Dalam fikih, syarat wajib zakat terdiri atas beberapa elemen, seperti muslim, merdeka, berakal, mencapai nisab, telah melewati satu tahun kepemilikan (haul), dan baligh. Artikel ini mengulas secara komprehensif tentang baligh syarat wajib zakat, mengapa baligh menjadi penentu kewajiban zakat, serta bagaimana penerapannya dalam zakat mal maupun zakat fitrah.

Definisi dan Konsep Baligh
Etimologi dan Makna Istilah
Secara bahasa, kata “baligh” (بلوغ) berarti “sampai” atau “telah mencapai”. Dalam konteks syariat, baligh menunjukkan tonggak kedewasaan seorang muslim—kondisi di mana ia mulai bertanggung jawab atas ibadah dan hukum syariat secara penuh.
Tanda-Tanda Baligh dalam Syariat
Para ulama menetapkan beberapa tanda fisik dan usia untuk menentukan baligh:
- Laki‑laki: Mimpi basah (ejakulasi) atau mencapai usia 15 tahun hijriyah tanpa tanda mimpi basah.
- Perempuan: Datang haid atau mencapai usia 15 tahun hijriyah tanpa haid.
- Tanda lainnya: Pertumbuhan jasmani, seperti tumbuhnya rambut kemaluan, perubahan suara, dan perkembangan organ reproduksi.
Saat tanda‑tanda tersebut terpenuhi, seorang individu dianggap mukallaf—sudah wajib menunaikan semua kewajiban syariat, termasuk zakat.

Syarat Wajib Zakat menurut Syariat
Syarat Umum Zakat
Secara umum, syarat wajib zakat dibagi menjadi dua kategori:
- Syarat personal: muslim, merdeka, baligh, berakal.
- Syarat harta: harta mencapai nisab, telah dimiliki selama haul (satu tahun hijriyah).
Posisi Baligh dalam Syarat Zakat
Dari dua kategori tersebut, baligh syarat wajib zakat masuk dalam syarat personal. Ini menandakan bahwa kewajiban zakat melekat pada individu yang telah mencapai kedewasaan menurut syariat. Anak‑anak yang belum baligh secara personal tidak diwajibkan berzakat atas nama diri mereka, meskipun harta yang mereka miliki bisa tetap dikenai zakat selama memenuhi nisab dan haul.
Pandangan Mazhab tentang Baligh dan Zakat
Berbagai mazhab memberikan perlakuan berbeda terkait baligh dalam konteks zakat harta (zakat mal) dan zakat fitrah. Berikut ringkasannya:
Mazhab Hanafi
- Zakat mal wajib dikeluarkan atas harta siapa pun—termasuk anak kecil—selama harta mencapai nisab dan haul. Kewajiban ini melekat pada harta, bukan pada orangnya. Oleh karena itu, wali atau hakim mengeluarkan zakat atas nama anak.
Mazhab Syafi’i
- Sejalan dengan Hanafi, zakat mal berlaku atas harta sehingga baligh bukan syarat mutlak untuk zakat mal. Namun, untuk zakat fitrah, syarat baligh dan berakal harus dipenuhi oleh yang membayar atas nama diri sendiri. Anak‑anak dibiayai oleh wali.
Mazhab Maliki
- Maliki memandang zakat mal hanya wajib atas orang yang baligh dan berakal. Anak‑anak (belum baligh) tidak dikenai zakat mal meski memiliki harta.
Mazhab Hanbali
- Hanbali menetapkan zakat mal wajib atas harta, sama seperti Hanafi dan Syafi’i. Pengeluaran dilakukan oleh wali atau pengelola harta. Untuk zakat fitrah, baligh menjadi syarat pelaksanaannya atas nama individu.
Zakat Mal dan Zakat Fitrah Terkait Baligh
Zakat Mal
- Obyek: Harta simpanan, hasil usaha, pertanian, peternakan, dan lain-lain.
- Syarat baligh: Bukan syarat mutlak. Siapa pun yang memiliki harta mencapai nisab dan haul harus dizakati, termasuk anak‑anak, dengan pelaksanaan melalui wali.
Zakat Fitrah
- Obyek: Makanan pokok atau nilai uang setara per orang.
- Syarat baligh: Wajib atas setiap muslim, baligh maupun tidak, namun pembayaran atas nama anak-anak diwakilkan ke wali.
Peran Wali dalam Zakat Baligh dan Non‑Baligh
Kewajiban Pengeluaran Zakat atas Nama Anak
Apabila anak memiliki harta yang mencapai nisab dan telah satu tahun dimiliki, wali wajib mengeluarkan zakatnya. Zakat itu dibebankan pada harta anak, bukan harta wali, agar prinsip “zakat harta” tetap terjaga.
Prinsip Pengelolaan Harta Anak oleh Wali
Wali harus bertindak amanah:
- Mencatat jumlah harta anak sejak awal masuk nisab.
- Menghitung haul secara tepat.
- Menyiapkan nisab zakat (2,5% untuk zakat mal) dari harta anak.
- Menyalurkan kepada mustahik sesuai syariat.
Manfaat dan Hikmah Memperhatikan Syarat Baligh
Tanggung Jawab Pribadi
Dengan memahami “baligh syarat wajib zakat”, seorang muslim menyadari kapan ia mulai bertanggung jawab atas kewajiban zakat. Kesadaran ini mendorong kedisiplinan dalam memperhitungkan nisab, haul, dan menunaikan zakat tepat waktu.
Tumbuhnya Kesadaran Sosial
Memerhatikan syarat baligh mengajarkan keluarga untuk mendidik anak sejak dini tentang kewajiban zakat. Anak‑anak belajar nilai kepedulian, empati, dan tanggung jawab sosial sebelum secara pribadi diwajibkan zakat.
Keberkahan Harta
Ketika harta dibersihkan melalui zakat, keberkahan, ketenangan, dan rezeki berkelanjutan akan hadir. Prinsip “baligh syarat wajib zakat” menjadi pengingat bahwa harta—baik milik dewasa maupun anak—tidak lepas dari aturan syariat untuk menjaga keberlimpahan secara halal.
Kesimpulan
Baligh merupakan salah satu syarat personal dalam kewajiban zakat yang menandai dimulainya tanggung jawab individu terhadap ibadah zakat. Dalam zakat mal, baligh bukan halangan: kewajiban melekat pada harta, sehingga anak‑anak yang belum baligh pun menghitung zakat atas harta mereka—dikeluarkan oleh wali. Sedangkan pada zakat fitrah, setiap muslim, baligh maupun tidak, wajib dizakati, namun pembayaran anak‑anak diwakilkan pada wali.
Memahami baligh syarat wajib zakat membantu umat Islam menunaikan kewajiban zakat dengan tepat, menjaga kebersihan harta, dan memperkuat solidaritas sosial. Dengan demikian, zakat bukan hanya ritual formal, melainkan jembatan keadilan dan keberkahan dalam kehidupan bermasyarakat.
Baca juga artikel lainnya : https://ziswap.com/islam-dan-zakat-menyikapi-syarat-wajib-zakat-dalam-syariat/